1
Muna
Muna riang luar biasa.
Sepasang sapi penarik garu yang dia naiki bergerak cepat seakan lumpur tak
masalah baginya. Dan Karena sapi tak mempermasalahkan lumpur maka Muna berusaha
untuk tidak mempermasalahkannya juga. Celana gombrong hitam yang dia pakai
telah penuh lumpur. Muna ingat perdebatannya dengan Tolutuy tadi pagi.
“Bawalah baju ganti, Abo’[i].
Beda dengan kemarin. Saat membajak. Hari ini sawah akan diairi. Lumpurnya
kental. Pakaianmu akan kotor nanti,” kata Tolutuy.
“Mengapa takut kotor? Kita ke
kebun, kan?!” sambut Muna, dia menggeleng heran.
“Aduh, Abo’. Kita kan
melewati kampung-kampung. Ketemu banyak orang, juga banyak gadis. Malulah kalau
bajunya penuh lumpur!” Tolutuy nyengir penuh arti.
Muna hanya membalas nyengir. Dia
sudah bertemu banyak gadis namun belum ada yang menarik perhatiannya. Dia sama
sekali tak malu berpakaian penuh lumpur!
“Lagi pula, Abo’ dan Bua’[ii]
pasti akan marah besar. Aku juga yang kena,” tambah Tolutuy, sekarang dia
menghiba.
Ini lagi. Orang tua!
Sejak awal orang tua Muna tak
setuju dia bertani. Bagi orang tuanya yang bangsawan tulen itu—maksudnya kedua
orang tua Muna sama-sama bangsawan—bertani hanya pekerjaan ata[iii]
dan masyarakat di bawah strata bangsawan. Seorang bangsawan tak boleh
merendahkan diri dengan bermandikan lumpur!
“Tidak perlu,” bentak Muna
lagi. Dia ingin tahu reaksi orang tuanya ketika dia pulang dengan bermandikan
lumpur. Muna sudah bisa membayangkan orang tuanya yang manyun, terutama
bapaknya, dan mengomel panjang-pendek ketika melihatnya penuh lumpur. Muna
tersenyum sendiri membayangkan hal itu.
Namun Tolutuy tetap membawa
baju ganti. Dan setelah melihat sawah yang akan digaru, Muna menganggap sikap
Tolutuy bijaksana. Kalau dia memaksa tetap memakai baju yang dia bawah dari
rumah, entah bagaimana bentuk baju itu sekarang.
Is..kzh…kzh…huraaa…
Tolutuy! Tolutuy! Muna ingat
bagaimana dia sampai bermandi lumpur seperti sekarang. Semua berawal dari
Tolutuy.
***
Tolutuy adalah ata. Dia
harus melayani segala keperluan Muna. Entah bagaimana Tolutuy menjadi ata,
Muna tak tahu. Ata bisa dari keturunan. Orang tuanya ata maka
anaknya akan menjadi ata juga. Namun, setahu Muna, Tolutuy tidak
mempunyai orang tua. Bisa juga karena melakukan kesalahan. Namun, kesalahan apa
yang telah dilakukan Tolutuy sehingga dia menjadi manusia rendah semacam itu?
Muna tak tahu pasti. Yang dia tahu, sejak dia bisa mengenali sekeliling,
Tolutuy telah menjadi pelayannya. Bisa jadi…
Ah, sudahlah, desah Muna dalam
hati. Toh Tolutuy tak pernah diperlakukan seperti ata. Orang tua Muna, Abo’
Landang dan Bua’ Longkagi, menyayangi Tolutuy karena Tolutuy bersikap
seperti namanya—Tolutuy sangat penurut. Bagi Muna, karena seumuran, Tolutuy
adalah teman berbagi. Sayang tradisi yang mengekang tak memperbolehkan dia
memperlakukan Tolutuy layaknya saudara.
Keberadaan Tolutuy sebagai ata
membuat Muna sangat membenci strata[iv]
walau dirinya termasuk di strata atas dengan beberapa hak istimewa. Menurut
Muna, pembedaan manusia seperti ini sangat tidak adil. Apalagi setelah dia
belajar mengaji. Aba’ Mansur, guru mengajinya, selalu bilang bahwa pembedaan
manusia berdasarkan keturunan merupakan sistem di masa jahiliyah dan Islam
datang untuk menghapuskan sistem jahiliyah itu.
“Menurut Islam, manusia tidak
dibedakan dari warna kulit, kekayaan, dan nasab atau keturunan. Yang membedakan
manusia hanya amal kebaikan yang dia lakukan. Ini yang akan diperhitungkan di
Padang Mashar nanti,” kata Aba’.
Muna tak tahu apa ada Padang
Mashar karena dia belum pernah mengunjungi akherat. Namun dia sependapat dengan
Aba’ Mansur. Sistem di dunia ini seharusnya mendorong manusia untuk selalu
berbuat baik kepada sesama. Bukannya membedakan dan menindas.
Dari membenci sistem, Muna
beralih membenci orang, maksudnya bangsawan pongah yang menindas manusia yang
berada di bawah kelas mereka. Muna sering “memberi pelajaran” pada putra
bangsawan yang berbuat semena-mena. Saat masih belajar mengaji dan pencak di
masjid, Muna menghajar mereka di arena. Setelah dewasa, dia tetap memburu
mereka. Entah sudah berapa banyak putra bangsawan yang menjadi korbannya.
Suatu hari, Muna dan Tolutuy
berjalan-jalan di bandar Kotabangon. Sejak ibu kota kerajaan dipindahkan dari
pesisir Bolaang ke pedalaman Kotabangon, Kotabangon telah menjadi bandar yang
ramai. Pasar dibangun, masjid dan lapangan serta istana raja yang disebut komalig
dan kantor pemerintahan. Macam-macam rupa orang. Yang bermata sipit,
bermata besar dan hidung mancung, bahkan yang berkulit putih dan berambut
jagung. Para bangsawan senang berjalan-jalan melihat kesibukan bandar.
Muna menunggangi kuda putihnya
yang kecil namun kuat dan sigap. Di bawahnya, berjalan kaki, Tolutuy melangkah
mantap. Bandar sangat ramai hari itu. Macam-macam barang dagangan. Banyak
perempuan, para putri bangsawan beserta ata mereka, mengamat-amati barang
dagangan. Namun pandangan mereka beralih begitu melihat Muna. Beberapa melirik
genit ke arah Muna.
Muna memang menarik bagi para
gadis. Perawakannya yang kokoh karena terlatih kanuragan, wajahnya yang tampan
memancarkan ketegasan dan wibawa. Tak ada yang tahu dia sudah berusia dua tujuh
sekarang. Termasuk tak ada yang tahu bagaimana cara menarik perhatiannya. Para
gadis itu hanya bisa berharap, sementara sang pemuda berlalu begitu saja seakan
tak ada yang memperhatikan. Walau Muna tak merasa terganggu dengan pandangan
para gadis itu namun dia sama sekali tak membalas perhatian mereka. Muna memang
kurang suka pada gadis bangsawan. Menurutnya para Bua’ muda itu terlalu
angkuh.
Kalau tak menginginkan putri
bangsawan, lalu gadis seperti apa yang dia suka? Muna senang pada gadis yang
tak mengandalkan leluhur. Seorang gadis yang mandiri. Yang dia bingungkan, di
mana dia mendapatkan gadis semacam itu. Di lingkungan pergaulannya hanya ada
para Bua’ muda yang manja.
Sedang asyik mengamati
sekeliling, tiba-tiba…
“Hei, kau, angkat ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar