Kamis, 12 April 2012

Pencari Kedamaian 1

1
Muna

Is..kzh…kzh…huraaa…
Muna riang luar biasa. Sepasang sapi penarik garu yang dia naiki bergerak cepat seakan lumpur tak masalah baginya. Dan Karena sapi tak mempermasalahkan lumpur maka Muna berusaha untuk tidak mempermasalahkannya juga. Celana gombrong hitam yang dia pakai telah penuh lumpur. Muna ingat perdebatannya dengan Tolutuy tadi pagi.
“Bawalah baju ganti, Abo’[i]. Beda dengan kemarin. Saat membajak. Hari ini sawah akan diairi. Lumpurnya kental. Pakaianmu akan kotor nanti,” kata Tolutuy.
“Mengapa takut kotor? Kita ke kebun, kan?!” sambut Muna, dia menggeleng heran.
“Aduh, Abo’. Kita kan melewati kampung-kampung. Ketemu banyak orang, juga banyak gadis. Malulah kalau bajunya penuh lumpur!” Tolutuy nyengir penuh arti.
Muna hanya membalas nyengir. Dia sudah bertemu banyak gadis namun belum ada yang menarik perhatiannya. Dia sama sekali tak malu berpakaian penuh lumpur!
“Lagi pula, Abo’ dan Bua’[ii] pasti akan marah besar. Aku juga yang kena,” tambah Tolutuy, sekarang dia menghiba.
Ini lagi. Orang tua!
Sejak awal orang tua Muna tak setuju dia bertani. Bagi orang tuanya yang bangsawan tulen itu—maksudnya kedua orang tua Muna sama-sama bangsawan—bertani hanya pekerjaan ata[iii] dan masyarakat di bawah strata bangsawan. Seorang bangsawan tak boleh merendahkan diri dengan bermandikan lumpur!
“Tidak perlu,” bentak Muna lagi. Dia ingin tahu reaksi orang tuanya ketika dia pulang dengan bermandikan lumpur. Muna sudah bisa membayangkan orang tuanya yang manyun, terutama bapaknya, dan mengomel panjang-pendek ketika melihatnya penuh lumpur. Muna tersenyum sendiri membayangkan hal itu.
Namun Tolutuy tetap membawa baju ganti. Dan setelah melihat sawah yang akan digaru, Muna menganggap sikap Tolutuy bijaksana. Kalau dia memaksa tetap memakai baju yang dia bawah dari rumah, entah bagaimana bentuk baju itu sekarang.
Is..kzh…kzh…huraaa…
Tolutuy! Tolutuy! Muna ingat bagaimana dia sampai bermandi lumpur seperti sekarang. Semua berawal dari Tolutuy.
***
Tolutuy adalah ata. Dia harus melayani segala keperluan Muna. Entah bagaimana Tolutuy menjadi ata, Muna tak tahu. Ata bisa dari keturunan. Orang tuanya ata maka anaknya akan menjadi ata juga. Namun, setahu Muna, Tolutuy tidak mempunyai orang tua. Bisa juga karena melakukan kesalahan. Namun, kesalahan apa yang telah dilakukan Tolutuy sehingga dia menjadi manusia rendah semacam itu? Muna tak tahu pasti. Yang dia tahu, sejak dia bisa mengenali sekeliling, Tolutuy telah menjadi pelayannya. Bisa jadi…
Ah, sudahlah, desah Muna dalam hati. Toh Tolutuy tak pernah diperlakukan seperti ata. Orang tua Muna, Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi, menyayangi Tolutuy karena Tolutuy bersikap seperti namanya—Tolutuy sangat penurut. Bagi Muna, karena seumuran, Tolutuy adalah teman berbagi. Sayang tradisi yang mengekang tak memperbolehkan dia memperlakukan Tolutuy layaknya saudara.
Keberadaan Tolutuy sebagai ata membuat Muna sangat membenci strata[iv] walau dirinya termasuk di strata atas dengan beberapa hak istimewa. Menurut Muna, pembedaan manusia seperti ini sangat tidak adil. Apalagi setelah dia belajar mengaji. Aba’ Mansur, guru mengajinya, selalu bilang bahwa pembedaan manusia berdasarkan keturunan merupakan sistem di masa jahiliyah dan Islam datang untuk menghapuskan sistem jahiliyah itu.
“Menurut Islam, manusia tidak dibedakan dari warna kulit, kekayaan, dan nasab atau keturunan. Yang membedakan manusia hanya amal kebaikan yang dia lakukan. Ini yang akan diperhitungkan di Padang Mashar nanti,” kata Aba’.
Muna tak tahu apa ada Padang Mashar karena dia belum pernah mengunjungi akherat. Namun dia sependapat dengan Aba’ Mansur. Sistem di dunia ini seharusnya mendorong manusia untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Bukannya membedakan dan menindas.
Dari membenci sistem, Muna beralih membenci orang, maksudnya bangsawan pongah yang menindas manusia yang berada di bawah kelas mereka. Muna sering “memberi pelajaran” pada putra bangsawan yang berbuat semena-mena. Saat masih belajar mengaji dan pencak di masjid, Muna menghajar mereka di arena. Setelah dewasa, dia tetap memburu mereka. Entah sudah berapa banyak putra bangsawan yang menjadi korbannya.
Suatu hari, Muna dan Tolutuy berjalan-jalan di bandar Kotabangon. Sejak ibu kota kerajaan dipindahkan dari pesisir Bolaang ke pedalaman Kotabangon, Kotabangon telah menjadi bandar yang ramai. Pasar dibangun, masjid dan lapangan serta istana raja yang disebut komalig dan kantor pemerintahan. Macam-macam rupa orang. Yang bermata sipit, bermata besar dan hidung mancung, bahkan yang berkulit putih dan berambut jagung. Para bangsawan senang berjalan-jalan melihat kesibukan bandar.
Muna menunggangi kuda putihnya yang kecil namun kuat dan sigap. Di bawahnya, berjalan kaki, Tolutuy melangkah mantap. Bandar sangat ramai hari itu. Macam-macam barang dagangan. Banyak perempuan, para putri bangsawan beserta ata mereka, mengamat-amati barang dagangan. Namun pandangan mereka beralih begitu melihat Muna. Beberapa melirik genit ke arah Muna.
Muna memang menarik bagi para gadis. Perawakannya yang kokoh karena terlatih kanuragan, wajahnya yang tampan memancarkan ketegasan dan wibawa. Tak ada yang tahu dia sudah berusia dua tujuh sekarang. Termasuk tak ada yang tahu bagaimana cara menarik perhatiannya. Para gadis itu hanya bisa berharap, sementara sang pemuda berlalu begitu saja seakan tak ada yang memperhatikan. Walau Muna tak merasa terganggu dengan pandangan para gadis itu namun dia sama sekali tak membalas perhatian mereka. Muna memang kurang suka pada gadis bangsawan. Menurutnya para Bua’ muda itu terlalu angkuh.
Kalau tak menginginkan putri bangsawan, lalu gadis seperti apa yang dia suka? Muna senang pada gadis yang tak mengandalkan leluhur. Seorang gadis yang mandiri. Yang dia bingungkan, di mana dia mendapatkan gadis semacam itu. Di lingkungan pergaulannya hanya ada para Bua’ muda yang manja.
Sedang asyik mengamati sekeliling, tiba-tiba…
“Hei, kau, angkat ini.”


[i] Abo’ : Gelar untuk bangsawan pria
[ii] Bua’ : Gelar untuk bangsawan perempuan
[iii] Ata: Budak
[iv] Strata: Pembedaan manusia berdasarkan kelas-kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar