Kamis, 12 April 2012

Dengkur 2

***
Suatu hari, entah karena apa, Adam ditemukan Ina dalam keadaan pingsan. Ina yang cemas luar biasa langsung membawanya ke rumah sakit. Ini menempatkannya di kelas murah karena memang hanya di sana kemampuannya.
Orang tua Ina yang ditinggal di rumah kerepotan mengurusi sang cucu. Anak itu menangis sepanjang malam. Suara kaleng mereka tak bisa menenangkan karena memang bukan itu penenangnya. Bapaknya di rumah sakit. Dengkurannya tak mungkin sampai di telinga si anak.
Nggrrroookk....
Dengkuran Adam ternyata tak mengenal tempat. Semua pasien di kelas murah mengeluh.
“Suami Anda sudah bisa pulang, Nyonya,” kata perawat yang piket di ruang kelas murah.
“Tapi dia baru semalam di sini, Sus. Saya takut dia kambuh lagi di rumah.”
“Dia cukup sehat. Buktinya, dengkurnya sangat keras,” kata si perawat dengan senyum sinis. “Kalau Anda ingin tetap dirawat inap, sebaiknya dipindah saja ke kelas mahal yang satu ruangan perpasien.”
Ruang kelas mahal? Ina tak tahu berpa biaya di sana tapi pasti mahal. Namanya saja kelas mahal! Tabungan dari hasil kerja serabutan suaminya hanya cukup untuk kelas murah.
Setelah konsultasi dengan dokter, ternyata suaminya hanya kelelahan. “Banyak istirahat saja. Atau memang Anda selalu memancingnya untuk bekerja keras di rumah?” tanya sang dokter dengan senyum genitnya.
Keterangan ini mendorong Ina membawa pulang suaminya. Pasien di kelas murah lega. Orang tua Ina juga lega. Si anak tertidur pulas begitu mendengar dengkur ayahnya telah kembali.
Ternyata Adam tak bisa diam. Dia terus mencari dan mengerjakan pekerjaan serabutan. Isterinya mencegah tapi tak sanggup. Selain itu, siapa yang akan mencari makan untuk keluarga kalau suaminya tidak bekerja?
Adam semakin sibuk. Dengkurnya semakin keras.
Nggrrroookk....
Suatu malam, Adam mendengkur seperti biasa. Ina sudah seperti anaknya. Dengkuran suaminya telah menjadi nada yang membawanya ke alam mimpi. Kemudian Adam tersedak. Ina tak mendengar. Dengkur memang hanya nada membawa ke mimpi, dan di saat bermimpi nada itu tak diperlukan lagi.
Besoknya, Ina menemukan tubuh suaminya sudah kaku. Menurut dokter, saluran pernapasannya tersumbat. Sang suami pergi membawa serta dengkurnya.
***
meninggalnya suami membuat Ina harus mandiri. Orang tuanya tak bisa diharap. Orang tua yang sangat membanggakan keterpelajaran itu telah menghabiskan semua milik mereka agar Ina bisa menjadi terpelajar. Mereka sukses. Tapi tak ada yang mereka tinggalkan untuk Ina kelola. Ina baru sadar mengapa suaminya almarhum sangat memaksakan diri bekerja,
dengan modal peninggalan suaminya, Ina membuka warung makan. Sibuk. Tapi Ina memang mencari kesibukan. Selain untuk mandiri, juga untuk melepaskan sejenak dari keterkenangan pada suami almarhum yang sangat sulit.
Satu keterkenangan yang sulit dia lepaskan adalah dengkur suaminya. Dengkur itu telah menyatu dengan dirinya dan sulit lepas. Lagi pula, anaknya jadi sulit tidur sejak dengkur dibawa serta suaminya ke alam lain. Sekarang baru Ina rasakan betapa pentingnya dengkur suaminya. Dan dia ingin melepaskan diri dengan membuat kesibukan.
Suatu malam, tengah malam. Ina sudah mulai melayang ke awang-awang. Bayang suaminya muncul. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
Ina bangun dalam kaget. Dengkur suaminyakan? Ina mencari-cari tapi bayangan sumaminyapun tak tampak. Anaknya sudah lelap dengan bibir tersenyum seakan mainan yang telah menghilang telah dia dapatkan kembali.
Ina kembali tidur karena capek. Tapi…
Nggrrroookk....
Ina bangkit. Sekarang takut menyelimutinya. Ina baru bisa tenang setelah ibunya menemani. Angannay kembali melayang.
“Bangun.” Ina terkejut. Ternyata ibunya yang membentak sambil mengguncang tubuhnya. “Kamu mendengkur seperti babi betina. Di mana keterpelajaranmu?”
***
(Sudimoro 05 September 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar