Suatu hari, entah karena
apa, Adam ditemukan Ina dalam keadaan pingsan. Ina yang cemas luar biasa
langsung membawanya ke rumah sakit. Ini menempatkannya di kelas murah karena
memang hanya di sana kemampuannya.
Orang tua Ina yang ditinggal
di rumah kerepotan mengurusi sang cucu. Anak itu menangis sepanjang malam.
Suara kaleng mereka tak bisa menenangkan karena memang bukan itu penenangnya.
Bapaknya di rumah sakit. Dengkurannya tak mungkin sampai di telinga si anak.
Nggrrroookk....
Dengkuran Adam ternyata tak
mengenal tempat. Semua pasien di kelas murah mengeluh.
“Suami Anda sudah bisa
pulang, Nyonya,” kata perawat yang piket di ruang kelas murah.
“Tapi dia baru semalam di
sini, Sus. Saya takut dia kambuh lagi di rumah.”
“Dia cukup sehat. Buktinya,
dengkurnya sangat keras,” kata si perawat dengan senyum sinis. “Kalau Anda
ingin tetap dirawat inap, sebaiknya dipindah saja ke kelas mahal yang satu
ruangan perpasien.”
Ruang kelas mahal? Ina tak
tahu berpa biaya di sana tapi pasti mahal. Namanya saja kelas mahal! Tabungan
dari hasil kerja serabutan suaminya hanya cukup untuk kelas murah.
Setelah konsultasi dengan
dokter, ternyata suaminya hanya kelelahan. “Banyak istirahat saja. Atau memang
Anda selalu memancingnya untuk bekerja keras di rumah?” tanya sang dokter
dengan senyum genitnya.
Keterangan ini mendorong Ina
membawa pulang suaminya. Pasien di kelas murah lega. Orang tua Ina juga lega.
Si anak tertidur pulas begitu mendengar dengkur ayahnya telah kembali.
Ternyata Adam tak bisa diam.
Dia terus mencari dan mengerjakan pekerjaan serabutan. Isterinya mencegah tapi
tak sanggup. Selain itu, siapa yang akan mencari makan untuk keluarga kalau
suaminya tidak bekerja?
Adam semakin sibuk.
Dengkurnya semakin keras.
Nggrrroookk....
Suatu malam, Adam mendengkur
seperti biasa. Ina sudah seperti anaknya. Dengkuran suaminya telah menjadi nada
yang membawanya ke alam mimpi. Kemudian Adam tersedak. Ina tak mendengar.
Dengkur memang hanya nada membawa ke mimpi, dan di saat bermimpi nada itu tak
diperlukan lagi.
Besoknya, Ina menemukan
tubuh suaminya sudah kaku. Menurut dokter, saluran pernapasannya tersumbat.
Sang suami pergi membawa serta dengkurnya.
***
meninggalnya suami membuat
Ina harus mandiri. Orang tuanya tak bisa diharap. Orang tua yang sangat
membanggakan keterpelajaran itu telah menghabiskan semua milik mereka agar Ina
bisa menjadi terpelajar. Mereka sukses. Tapi tak ada yang mereka tinggalkan
untuk Ina kelola. Ina baru sadar mengapa suaminya almarhum sangat memaksakan
diri bekerja,
dengan modal peninggalan
suaminya, Ina membuka warung makan. Sibuk. Tapi Ina memang mencari kesibukan.
Selain untuk mandiri, juga untuk melepaskan sejenak dari keterkenangan pada
suami almarhum yang sangat sulit.
Satu keterkenangan yang
sulit dia lepaskan adalah dengkur suaminya. Dengkur itu telah menyatu dengan
dirinya dan sulit lepas. Lagi pula, anaknya jadi sulit tidur sejak dengkur
dibawa serta suaminya ke alam lain. Sekarang baru Ina rasakan betapa pentingnya
dengkur suaminya. Dan dia ingin melepaskan diri dengan membuat kesibukan.
Suatu malam, tengah malam.
Ina sudah mulai melayang ke awang-awang. Bayang suaminya muncul. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
Ina bangun dalam kaget.
Dengkur suaminyakan? Ina mencari-cari tapi bayangan sumaminyapun tak tampak.
Anaknya sudah lelap dengan bibir tersenyum seakan mainan yang telah menghilang
telah dia dapatkan kembali.
Ina kembali tidur karena
capek. Tapi…
Nggrrroookk....
Ina bangkit. Sekarang takut
menyelimutinya. Ina baru bisa tenang setelah ibunya menemani. Angannay kembali
melayang.
“Bangun.” Ina terkejut.
Ternyata ibunya yang membentak sambil mengguncang tubuhnya. “Kamu mendengkur
seperti babi betina. Di mana keterpelajaranmu?”
***
(Sudimoro 05 September 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar