Kamis, 12 April 2012

Dengkur 1


Nggrrroookk....
Bunyi itu menggema, setiap sisi kamar memantulknya, lukisan sepasang penganten bergetar. Mungkin lukisan itu akan  menutup telinganya juga seperti Ina andai lukisan itu bisa menggerakan tanganya. Lukisan itu adalah diri Ina sendiri dan suaminya, Adam, yang sekarang tertidur pulas. Terkadang Ina berpikir lebih menyukai sosok suaminya di lukisan itu ketimbang sosok suaminya yang hidup, pada saat tidur. Dan ketika suaminya bangun, lukisan itu tentuh akan dicampakan. Tapi, apakah ada suami-istri yang hanya berkumpul saat mata terbuka dan berpisah saat mata terpejam?
Apa yang dibenci Ina saat keterlelapan suaminya? Dengkuran! Itu jawabanya.
Sebelum menikah, In tak pernah mendengar bunyi dengkuran karena tak seorang pun pendengkur dirumahnya. Bapaknya tidak, juga ibunya, juga dirinya sendiri. Dan keluarganya memang membenci dengkuran, juga pendengkurnya. Menurut orangtuanya, yang kemudian didoktrinkan padanya, mendengkur hanya ada dikalangan masyarakat yang tak berpendidikan. Argumennya memang tak jelas tapi buktinya ada. Oom-tante Ina yang lulus sekolah rendahg dan menjadi petani di desa pendengkur semua. Sedang orang tuanya walau bukan golongan terpelajar (keduanya hanya lulusan Sekolah Sedang) namun berusaha menjadi golongan terpelajar, yaitu dengan tidak mendengkur. Dan dia, sebagai golongan terpelajar (Ina lulusan Sekolah Tinggi) tidak boleh mendengkur. Karena itu, mereka membenci dengkuran dan pendengkurnya.
Ina tak menyesal telah menikah dengan Adam. Dan dia tak boleh menyesal karena ketidakmenyesalan adalah keharusan yang merupakan tanggung jawab.
Nggrrroookk....
Perkawinanannya dengan Adam merupakan pemberontakan terhadap keterkungkungan, merupakan keterlepasan dari belenggu orang tua. Sebelumnya Ina merupakan anak yang baik dan patuh pada orang tua. Setiap keinginan orang tua pasti dia ikuti. Alasan dia patu karena keterpelajaran. Seorang terpelajar tidak bolen menentang kalau argumennya kalah dan dalam banyak perdebatan Ina telah kalah sebelum berargumen. Orang tuanya memang sangat cerdas, argumen mereka sulit dibantah.
Tapi, ketika orang tuanya menyuruhnya menikah dengan laki-laki pilihan mereka, Ina langsung menolak. Adu argumen tak terhindarkan. Argumen utama Ina, dia tak kenal dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
“Saya yang menjalani pernikahan. Kalau bapak sama ibu hanya menjadikan penikahan sebagai arena saling kenal, tak masalah. Tapi jangan salahkan saya kalau perkawinan hanya berjalan beberapa saat kemudian kami cerai karena ternyata tidak cocok,” ancamnya.
“Apa kamu sudah mengenal laki-laki pilihanmu?” tanya ibunya juga mencoba mengintimidasi.
“Sudah! Saya sudah sangat mengenalnya! Karena itu, saya berani bertanggungjawab. Kami tak akan berpisah!”
karena jaminan Ina maka orang tuanya merestui pernikahannya. Rupanya orang tuanya berpikir bahwa akan lebih memalukan menyaksikan anaknya kawin0cerai daripada kalau dalam penentuan jodoh untuk anaknya.
Ini jujur pada orang tuanya. Dia memang telah mengenal Adam luar0dalam. Pada awal pernikahan Adam tidak mendengkur, sebelum menikahpun tidak. Bagaimana Ina bisa yakin Adam tidak mendengkur sebelum pernikahan? Apakah teman-teman kost Adam yang memberitahukan? Tentu tidak! Ina yang waktu itu masih mahasiswa sangat tidak mempercayai keterangan dari pihak kedua. Istilahnya tidak valid. Dia sendiri yang membuktikan bahwa Adam tidak mendengkur sebelum menikah. Cara membuktikannya? Tak usah diuraikan karena pembuktian semacam ini tidak asing dizaman sekarang.
Lagi pula, Adam benar-benar sosok terpelajar. Indeks prestasinya saat di Sekolah Tinggi selalu mendekati empat, kemudian wisuda dengan gelar kelulusan cum laude. Sebuah perusahaan besar langsung menawarinya begitu dia lulus. Jadi, mana bisa Adam mendengkur? Tapi kenyataannya begitu. Dan Ina belum bisa menjawab pertanyaan itu.
Lalu, sejak kapan Adam mendengkur? Oh ya, Ina ingat. Hari itu Adam di PHK padahal baru beberapa bulan bekerja. Alasannya, perusahaan sedang tertimpa krisi dan mengurangi pekerja tak terhindarkan. Adam dipiih di PHK karena termasuk kalangan terpelajar yang hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Adam merengek pada bosnya, dia menyatakan akan bekerja apa saja asal tidak di PHK. Tapi bosnya tetap menolak. PHK tetap jatuh padanya. Setelah diselidik, ternyata alasan perusahaan karena Adam belum terlatih bekerja profesional. Ya, bagai mana bisa profesional? Adam baru diwisuda! Selama dibangku kuliah dia hanya dijejali teori yang berada di awang-awang.
Adam memuntahkan semua itu pada Ina, isterinya, di rumah. Dia mencaci keterpelajarannya. Malamnya Adam mulai mendengkur. Ya, mendengkur! Ina ingat betul peristiwa itu. Awalnya hanya bunyi napas tertahan, seperti orang tersedak. Kemudia volumenya meninggi.
Nggrrroookk....
Ina cemas. Adam dibangunkan. Tapi kecemasan Ina disambut kemarahan luar biasa Adam. Ina tak bisa berkomentar. Dia sangat maklum. Adam baru kehilangan pekerjaan, kemudian dibangunkan tiba-tiba hanya karena dengkurnya. Tidak adil! Untunglah Ina telah tahu cara klasik seorang isteri memadamkan amarah suami.
Besoknya Adam mengirimkan lamaran ke sana-kemari. Tak satupun yang lolos. Lak ada lowongan,m itu alasan yang diutarakan perusahaan. Adam semakin marah. Ijazahnya tidak laku. Keterpelajarannya tidak dihargai. Gelar cume laude tak diperhitungkan. Akhirnya dia bekerja serabutan. Apa saja. Yang penting bekerja. Tak sesuai dengan tingkat keterpelajaran sekalipun. Malamnya Adam mendengkur. Dengkurannya semakin keran. Mirip orang tercekik. Dan tak terasa sudah lima bulan dengkuran Adam.
Nggrrroookk....
***
Malam baru menunjukan kekelamannya. Tanda siang baru berakhir. Baru setengah tujuh. Adam sudah tergeletak di tempat tidur. Dia sangat capek. Kegiatannya penuh siang tadi. Mengatar surat ke kantor pos tanpa harapan secuilpun. Kegiatan itu menurutnya hanya sekadar menguji keberuntungan saja. Mirip berjudi. Kemudian dia mendatangi kawan-kawannya. Kebetulan ada beberapa kawan yang punya pekerjaan yang bisa dia bantu dengan imbalan yang kecil tentu. Adam sangat capek karena pikirannya terus berjalan. Pikiran itu mencaci semuanya, terutama keterpelajarannya. Keterpelajaran itu telah memunculkan gengsi pada dirinya sehingga tak mau menerima sembarang kerja. Dan ketika dia terpaksa membuang gengsi itu, yang menyediakan pekerjaan justru menolak. Ijazah zarjana sebagai lambang keterpelajarannya membuat yang menyediakan pekerjaan tak berani memberikan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ijazahnya itu. Ketika—sekali lagi karena terpaksa—ijazah yang telah menyita waktunya tiga setengah tahun itu dia buang, yang menyediakan pekerjaan tak percaya juga karena penampilannya yang terpelajar, lagipun ketika dicoba ternyata dia tak bisa mengerjakan pekerjaan itu.
“Makanan sudah siap,” kata Ina dengan senyum tulus sedikit menggoda.
“Nanti saja,” kata Adam malas. Senyum menggoda isterinyapun tak membangkitkan gairahnya. Dia sangat capek!
Ina kembali ke ruang tamu yang tak jauh dari kamar mereka. Bahkan pintu keluar-masuk kamar itu terhubung langsung dengan ruang tamu. Di sana ada dua orang tamu yang menurut orang tuanya istimewa. Ina harus melayani tamu-tamu istimewa ini.
Di dalam kamar Adam mulai mengkhayal. Menghadirkan kembali angan yang sempat dia ukir saat di Sekolah Tinggi. Kuliah, belajar giat, ikuti apapun kata pengajar agar mendapat nilai yang barus, setelah itu melamar pekerjaan dan menjadi eksekutif yang sukses. Segala realitas buruk yang menerpanya dia singkirkan. Angan itu membuat napas Adam mulai teratur. Tak lama lagi dia kan melihat angannya lewat mimpi.
Dari ruang tamu, orang tua Ina dan tamu penting itu asyik bercakap. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
“Apa ada yang sakit?” tanya si tamu penting yang satu terlihat cemas.
“Aatau Anda memelihara babi di sini?” gurau tamu penting yang satu lagi, yang paling banyak cakap.
Nggrrroookk....
Bunyi itu seolah menjawab kecemasan dan gurauan tamu-tamu penting itu. Karena bunyi dengkuran semakin keras dan ramai, tamu-tamu penting itu akhirnya pamit. Mungkin mereka tak tahan menanggung malu karena suara mereka kalah dengan bunyi dengkur.
Orang tua Ina malu besar.
“Kalian harus pindah ke kamar belakang,” putus bapaknya Ina setelah tamu-tamu penting itu pergi.
Nggrrroookk....
“Apa?” pekik Ina nyaring menyaingi dengkur suaminya. “Bapak menyuruh kami tinggal di kamar pembantu?” rupanya Ina terlalu kaget dan marah sehingga lupa bahwa kamar itu hanya bekas kamar pembantu karena sudah lama tak ada pembantu di rumah itu, sejak perusahan kecil orang tuanya gulung tikar karena kesulitan modal.
Nggrrroookk....
“Dengkurnya telah mempermalukan kami, telah mencoreng muka kami sampai tak jelas bentuknya!”
Nggrrroookk....
Perdebatan terjadi. Kali ini tanpa argumen mendasar sebagaimana ciri orang terpelajar. Hanya debat kusir. Dengkuran Adam menjadi musik pengiring debat kusir itu. Akhirnya Ina kalau setelah orang tuanya menegaskan diri mereka sebagai penguasa rumah.
Besoknya, pertengkaran terjadi antara Adam dan Ina.
“Lebih baik kita pindah saja daripada diperlakukan seperti orang lain begini,” kata Adam marah.
“Pindah? Pindah katamu? Beh!” sembur Ina, “dari mana uang untuk pindah? Untuk mencari makan saja kau tak becus!”
Perdebatan terus terjadi. Debat kusir. Kali ini tanpa diselingi dengkur.
“Sudahlah. Lebih baik kita mengalah. Apa salahanya? Toh kita tidak rugi,” kata ini setelah capek berdebat. Adam juga nampaknya malas mendebat. “Lagipu, enak kalau di kamar belakang. Kita bisa melakukan kapan saja tanpa risih didengar tamu. Semoga dengan begitu kita dapat memberi cucu untuk bapak dan ibu. Mungkin ini akan meredam amarah mereka pada kita.”
Senyum dibibir Adam mengembang. Dia sangat mengeri maksud Ina. “Mari kita buatkan cucu untuk mereka,” kata Ada bersemangat.
***
Anak itu akhirnya lahir juga. Mungil dan lucu. Orang tua Ina senang. Setiap saat mereka menggendongnya, membanggakan kemungilan dan kelucuannya. Menyanyikan lagu dengan suara mirip kaleng untuknya. Anak itu telah melupakan mereka pada dengkuran Adam. Bahkan mereka merasa ditentramkan dengan dengkuran Adam. Betapa tidak. Ketika si anak tak bisa tidur atau bangun tengah malam dan menangis, tak ada yang dapat menangkannya. Lagu nina bobo dari suara merdu ibunya, serta suara kaleng kakek-neneknya, juga tidak. Tapi begitu dengkur sang ayah tib, si bayi langsung pulas seakan dengkuran itu merupakan musik yang merdu baginya.
Nggrrroookk....
Bagi Adam, bertambahnya satu mulut berarti bertambah tanggung jawab. Tanggung jawab, bukan beban. Adam sama sekali tak terbebani . anak itu amanah Tuhan. Dia harus menjaga amanah itu sampai amah itu diambil-Nya atau mungkin yang diberi amanah—yaitu dirinya—yang diambil-Nya, atau mungkin dua-duanya diambil-Nya.
Adam belum juga mendapat pekerjaan tetap yang layak. Keterpelajarannya tidak laku. Bahkan dia menduga orang yang punya perusahaan tidak mempercayai keterpelajarannya karena dia memang tak bisa membuktikan. Ada sadar, gelar cum laude yang disandangnya saat wisuda memang tak bisa dia buktikan di dunia nyata. Pekerjaan serabutan tetap menjadi ladangnya. Dan tentu perlu lebih banyak lagi pekerjaan serabutan yang bergaji sedikit itu. Untunglah dia punya koneksi untuk pekerjaan serabutan itu. Adam semakin sibuk. Dan kesibukan membuat dengkurnya semkain keras.
Nggrrroookk....
Si bayi tertidur pulas begitu mendengarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar