Senin, 16 April 2012

JATUHNYA SANG BINTANG : Distribusi

Judul : JATUHNYA SANG BINTANG
Penerbit : Gerbang Pasifik dan Indiepro
ISBN : 978-602-96905-4-5
Harga : Rp 40.000

1 GRAMEDIA - PONDOK INDAH 2 GRAMEDIA - DEPOK
3 GRAMEDIA - CINERE
4 GRAMEDIA - DAAN MOGOT
5 GRAMEDIA - WTC SERPONG
6 GRAMEDIA - MERUYA
7 GRAMEDIA - KARAWACI
8 GRAMEDIA - CITRALAND
9 GRAMEDIA - AMBASADOR
10 GRAMEDIA - MELAWAI
11 GRAMEDIA - BOGOR
12 GRAMEDIA - BEKASI
13 GRAMEDIA - MATRAMAN
14 GRAMEDIA - EKALOKASARI
15 GRAMEDIA - PLUIT
16 GRAMEDIA - GAJAH MADA
17 GRAMEDIA - PINTU AIR
18 GRAMEDIA - SEMANGGI
19 GRAMEDIA - BOTANI SQUARE
20 GRAMEDIA - TAMAN ANGGREK
21 GRAMEDIA - GRAND INDONESIA
22 GRAMEDIA - PONDOK GEDE
23 GRAMEDIA - BINTARO
24 GRAMEDIA - MALL OF INDONESIA
25 GRAMEDIA - GOLDEN TRULY
26 GRAMEDIA - SUNTER
27 GRAMEDIA - EMPORIUM
28 GRAMEDIA - PEJATEN
29 GRAMEDIA - GADING SERPONG
30 GRAMEDIA - GANDARIA
31 GRAMEDIA - KALIBATA
32 GRAMEDIA - CIJANTUNG
33 GRAMEDIA - TERAS KOTA
34 GRAMEDIA - KELAPA GADING
35 KENRO, BAPAK
36 GRAMEDIA - ARTHA GADING
37 GRAMEDIA - PURI INDAH
38 GRAMEDIA - CENTRAL PARK
39 GRAMEDIA LAMPUNG
40 GRAMEDIA BATAM BCS
41 BUKU KITA  CABANG MAKASSAR
42 BUKU KITA CABANG MAKASSAR
43 BUKU KITA CABANG MAKASSAR
44 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
45 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
46 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
47 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
48 BUKU KITA  CABANG MAKASSAR
49 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
50 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
51 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
52 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
53 BUKU KITA CABANG  BANDUNG
54 BUKU KITA CABANG  BANDUNG

lanjut...

AMM Bolmong Raya Luncurkan Novel


Bolaang Mongondow (Bolmong) merupakan wilayah di Sulawesi Utara yang telah dimekarkan menjadi lima daerah otonom, satu berbentuk Kota yaitu Kotamobagu dan empat Kabupaten (Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan dan Bolaang Mongondow Timur). Walau demikian, persatuan antar daerah otonom tetap dijaga sehingga wilayah ini sering juga disebut Bolaang Mongondow Raya.
Dengan melihat sejarahnya yang merupakan penyatuan dari empat eks swapraja (Bolaang Mongondow, Bolaang Uki, Kaidipang dan Bintauna) serta alamnya yang indah nan permai dengan banyak tempat yang bisa dijadikan obyek wisata alam, seharusnya daerah ini telah melahirkan penulis besar. Sayangnya daerah ini terbiasa dengan pembahasaan secara lisan sehingga dunia penulisan tidak berkembang.
Karena itu, Anuar Syukur, penulis yang memakai inisial A. Totabuan Syukur dalam tulisannya, mengaku terharu ketika Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) se-Bolmong Raya mendesaknya untuk menerbitkan karyanya walau dalam bentuk sederhana. Kemudian pada Sabtu 08 Agustus 2009 di Balai Kelurahan Motoboi Kecil, Kota Kotamobagu, karya ini diluncurkan.
“Saya terharu melihat semangat yang ada pada Imawan dan Imawati yang tergabung dalam IMM maupun IPM. Karya saya yang sedang mencari penerbit mereka minta diterbitkan sederhana dan terbatas, kemudian diluncurkan. Semangat ini sungguh luar biasa buat ukuran daerah terpencil seperti Bolaang Mongondow di mana mencari bibit penulis memang agak susah,” ujarnya.
Lebih lanjut, penulis yang ternyata merupakan kader IMM komisariat Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang ini mengatakan bahwa giroh Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) ini perlu ditunjang. “Saya meyakini Imawan dan Imawati di Bolmong Raya tak hanya menjadi tempat bergantung daerahnya, tapi mereka merupakan masa depan persyarikatan. Karena itu, giroh ini perlu ditunjang oleh pengurus Muhammadiyah di tingkat yang lebih tinggi. Saya sendiri siap untuk belajar bersama mereka,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Panitia Peluncuran Novel, Mendhy Paputungan yang juga merupakan Ketua IPM Kota Kotamobagu mengakui bahwa inisiatif mereka memang ditujukan untuk mendorong kader AMM yang ada di IMM maupun IPM untuk berkarya, terutama berkarya di dunia penulisan.
“Saya berharap kami di Angkatan Muda Muhammadiyah ada yang bisa menekuni dunia penulisan sampai menjadi professional. Karena itu, kegiatan ini menjadi stimulus pada kami,” harapnya.
Kedepannya kader muda Muhammadiyah ini merencanakan akan menggelar Diklat Jurnalistik serta membentuk kelompok penulis di dalam tubuh AMM se-Bolmong Raya sehingga jiwa penulis bisa bersemai dalam diri kader dan AMM bisa memberikan sumbangsih lebih pada daerah, Negara dan agama.
Dalam kegiatan tersebut, selain dihadiri utusan dari pemerintah daerah se Bolaang Mongondow Raya, juga dihadiri mahasiswa, siswa, LSM dan tokoh masyarakat.(***)
lanjut...

Minggu, 15 April 2012

Jatuhnya Sang Bintang : Sinopsis

Judul : JATUHNYA SANG BINTANG
Penerbit : Gerbang Pasifik dan Indiepro
ISBN : 978-602-96905-4-5
Harga : 40.000
Bisa Anda dapatkan disini
Seperti namanya, Arumawarni seharum mawar. Kecantikan belianya yang baru lepas SMA akan memikat siapa saja. Namun, baginya, yang paling menarik adalah kecerdasan. Dia rangking pertama Kabupaten dan ketiga Provinsi dalam kelulusan tahun itu. Kecerdasannya membuka tiket untuk kuliah di kampus negeri terkenal. Sayang dia tak punya uang dan kampus itu tetap ingin dia membayar. Walhasil, dia tak bisa kuliah. Sisi menonjol dalam dirinya yang sangat dia banggakan ternyata tak bisa diandalkan.
Keunggulannya yang lain justru membawanya pada kemakmuran. Selain cantik dan cerdas, dia juga punya suara yang bagus. Ketika menyanyi dalam suatu acara pernikahan, Mbak Dalia yang memimpin group musik yang biasa diundang bernama KhaDang sangat tertarik melihat penampilannya. Arum pun ditawarkan untuk menjadi salah satu personil KhaDang.
Arum yang putus asa karena tak bisa mengandalkan kecerdasan akhirnya menerima tawaran itu. Dia pun menjadi penyanyi di KhaDang yang bermarkas di Malang. Ely, teman lain dalam group musik itu, memuaskan dahaganya untuk kuliah. Berkat Ely dia berhasil masuk ke kampus kecil tempat dia memenangkan lomba penulisan saat di SMA dulu. Memang bukan di regular melainkan di ekstensi yang kuliahnya setiap Sabtu-Minggu sehingga sering disingkat kampus Tugu. Namun Arum benar-benar serius dengan kuliahnya sehingga nilainya bagus semua.
Tanpa Arum sadari, ternyata personil KhaDang melakukan perbuatan di luar profesionalitasnya sebagai penyanyi. Mereka ternyata tak hanya diundang bernyanyi namun juga untuk memenuhi kebutuhan birahi. Awalnya Arum kaget namun dia tak bisa mundur. Dia tetap professional menyanyi namun tak ingin seperti personil KhaDang lain. Dia bertekad menjaga kehormatannya dan kesuciannya walau bergelur di tengah kehidupan yang penuh Lumpur.
Cantik, cerdas, suara merdu, siapa yang tidak mau? Tak terhitung lagi lelaki pengundang KhaDang yang menyampaikan hasrat untuk bersama Arum. Mbak Daliya, sang pimpinan, bingung pada siapa dia akan menyerahkan anggotanya itu. Namun Ely memperingatkan Mbak Daliya agar jangan memaksa Arum kalau tak ingin Arum keluar. Ely berjanji, dengan perlahan pasti Arum akan menyerah tapi tak boleh tergesa-gesa.
Ternyata ini menguntungkan KhaDang. Keberadaan Arum yang tak diobral menarik pemilik Klub Lajang, sebuah klub yang mengadakan hiburan malam di salah satu hotel di Malang. Pak Handoko, pemilik klub meminta pada Mbak Daliya untuk mengalihkan Arum ke klub namun Mbak Daliya meminta agar personil KhaDang lain juga bisa manggung di sana walau tidak sesering Arum. Pak Handoko yang sudah kadung tertarik pada Arum langsung menyetujui.
Apakah Arum bisa mempertahankan kehormatannya? Silahkan baca
Novel ini bisa didapatkan di Gramedia se Jawa, Lampung, Makasar, Batam...
Untuk jelasnya bisa diklik di gambar atau di klik di sini.
lanjut...

Dunia Penulisan Daerah


Novel2ku yang dibeli teman dari
Kalimantan
Tulisan itu mengukir keabadian. Mungkin kata-kata seorang teman diatas agak berlebihan. Saya katakan berlebihan karena tulisan dibuat disatu ruang dan waktu tertentu yang jelas akan berubah pada ruang dan waktu yang lain. Padahal kata banyak orang yang pintar dan bijak, yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Tapi saya agak setuju dengan peletakan fungsi tulisan sebagai media untuk mengisahkan suatu peradaban. Socrates, Plato, dan lainya telah mengisahkan bagaimana peradaban di Yunani sebelum masehi. Pencipta huruf paku di Mesir juga membuat kita dapat mengetahui kisah di Mesir pada suatu masa, begitu juga dengan Babad Tanah Jawi yang mengisahkan tentang Jawa, Lontara Bugis di selatan Celebes, dan lainnya.
Satu hal yang melemahkan kita (masyarakat Bolaang Mongondow Raya) dibukti tertulis ini. Bisa dikatakan kita tak punya peninggalan tertulis yang menerangkan tentang keberadaan kita. Walau saya sendiri tak pernah sangsi untuk menuliskan sejarah kita sekalipun hanya versi saya karena tak ada sanksi dalam penulisan sejarah, namun kekurangan bahan tertulis juga cukup menyusahkan. Beruntung sejarah kita dituliskan oleh orang lain seperti di Minahasa, Halmahera, dan dituturkan di Sangihe dan Talaud.
Kita juga cukup beruntung karena bahasa kita dapat ditelusuri sampai di Filiphina, juga keberadaan kita sebagai ORANG KOTA cukup baik untuk membawa daerah kita yang belum begitu dikenal ini ke luar.
Banyak yang meragukan sejarah kita dan itu baik untuk pengkritisan. Kita memang tidak punya cukup bukti tertulis tentang kegemilangan maupun keterpurukan kita.
Tulisan, tulisan, tulisan.
Kita selalu menyesalkan soal tulisan ini. Kita memang terbiasa dengan bahasa oral. Bahkan daerah kita pun terbentuk dari teriakan—Mongondow berasal dari kata “momondow” yang berarti “berteriak”. Walau saya kadang-kadang mengajukan kata “Totabuan” yang menurut sudut pandang saya lebih menarik dibandingkan “Mongondow” karena kata “Totabuan” dikaji dari sejarah sedang “Mongondow” dari tingkah laku. Ini agak berbeda dengan daerah lain yang berasal dari nama yang mengandung filosofi yang begitu mendalam.
Tapi daripada berlarut-larut dalam penyesalan, lebih baik kita bangkit dan memulai.
Alhamdulillah saat ini suda banyak penulis kita yang rata-rata lahir dari rahim media. Ada Katamsi Ginano, Suhendro Boroma, Hairil Paputungan, Mat Alheid, Junius Dilapanga, dan lain-lain. Saya pribadi mencoba meletakan sebutir pasir dalam ruang yang kusebut dunia penulisan ini.

Kesulitan Dunia Penulisan Daerah
Ketika peluncuran novel pertama saya, Perjuangan Keluarga Tertindas, Drs. Hamri Manoppo yang menyayangkan kembalinya saya ke kampung halaman dan meminta saya untuk kembali ke Jawa. Tujuan beliau baik, yaitu agar saya bisa berkembang karena beliau meyakini saya akan susah berkembang kalau cuma di daerah.
Saya membenarkan pernyataan beliau karena saya merasakan sendiri. Saat di Jawa, bisa dikatakan saya makan dari tulisan. Artikel saya lolos di beberapa media, dari sana saya mendapat honorarium dari media dan dibayar kampus. Di penulisan cerita, selain beberapa Cerpen, juga ada Cerita Bersambung yang diterbitkan oleh Malang Post dan koran Sinar Harapan Jakarta. Juga sudah keluar novel Jatuhnya Sang Bintang terbitan Balai Pustaka.
Menurut senior saya yang telah menjadi penulis terkenal, saya telah menaiki tangga kepenulisan walau masih ditangga dasar. Kalau ulet, saya bisa naik tangga berikutnya walau harus bersusah-susah. Saya tidak pamit ke beliau ketika pulang dan beliau cukup marah ketika tahu saya sudah di kampung halaman. Menurut beliau, saya telah melakukan tindakan bodoh dan sekarang bukan hanya kembali ke titik nol tapi minus. Jika pun saya kembali ke Jawa maka saya harus berusaha seperti awal lagi. Dan senior saya ini benar. Tulisan saya di blog yang saya kirim link-nya ke beberapa media hanya diambil beberapa, itu pun yang hanya bersifat news.
Dari pengalaman pribadi, saya membenarkan Pak Hamri Manoppo. Namun saya sudah di sini dan saya ingin mencoba menuliskan tentang daerah saya. Walau yang saya tuliskan kebanyakan bentuknya cerita namun akan sulit bagi saya jika tidak berada di tengah alam yang akan kuceritakan. Karena itu saya memilih bertahan.
Kesulitan datang. Ke mana tulisan-tulisan ini akan diterbitkan. Ketika bicara penerbit mayor, maka mereka akan menghitung—termasuk dan terutama pangsa pasar. Dua cerita panjang saya yang diterbitkan bersambung di Malang Post dan Sinar Harapan bukanlah cerita yang terkait dengan daerah. Dan harus jujur saya katakan bahwa yang terkait dengan daerah telah ditolak. Alasannya jelas, pembaca sedikit!
Untuk mengatasinya, saya berinisiatif mendirikan penerbit sendiri yang diberi nama Gerbang Pasifik. Untuk konsumsi local dan teman-teman, hanya ditangani oleh Gerbang Pasifik. Untuk edar di luar Sulut, dilakukan kerjasama dengan penerbit lain yang berskala nasional. Yang jadi kendala berikutnya adalah anggaran penerbitan.
Saya pikir semua pihak berpikiran sama, terlebih mereka yang menggebu-gebu menyatakan diri akan memajukan daerah dengan menjadi pengambil kebijakan. Karena itu saya mencoba mengkomunikasikan dengan Pemerintah dan individu. Walau dibeberapa tempat saya dikecam karena telah menjadikan buku/novel laksana Koran namun saya tak begitu menanggapi. Saya piker, mereka akan sadar ketika ketika mereka melakoni sendiri.
Setelah ditambah dengan usaha lain-lain—termasuk menguras tabungan dari warung dan RUMAH DINANGOI, partisipasi-partisipasi ini telah membuahkan hasil. Sekarang Anda bisa ke Gramedia se Jabotabek, Bandung, Makasar, Lampung, Batam dan mencari novel dengan cover dearah. Novel ini berjudul JATUHNYA SANG BINTANG yang endorsement di cover belakang ada Wakil Walikota dan Ketua DPW PAN Sulut, Ir. Tatong Bara dan Kepsek SMK Cokroaminoto yang juga Ketua SI Kotamobagu, Hi. Aria Suka Malah, ST, juga menerakan logo daerah se Bolmong Raya.
Penerbitan novel Jatuhnya Sang Bintang dapat diterbitkan berkat sumbangsi dari Pemkot Kotamobagu, Djelantik Mokodompit dan Hi. Aria Sukma Malah, ST. Sedang yang lainnya, sampai detik ini belum memberikan sumbangsi walau nama mereka telah diterakan.
Saat ini, sedang dipersiapkan novel yang berjudul RELASI HITAM SANG AKTIVIS—novel yang mengetengahkan ketokohan aktivis asal Bolmong Raya dalam reformasi. Novel ini sudah masuk di dapur editor tapi menunggu donator untuk percetakan.

Akhir
Ketika bicara tentang dunia penulisan di Bolmong Raya, cukup banyak yang memandang nyinyir ke saya. Mereka bilang ini hanya kepentingan pribadi saja. Tapi semua itu tentu tak menyurutkan langkah. Walau bergerak perlahan namun tetap dilakukan. Mogaid kon onu in ko’aidan.
Sekarang cukup banyak yang meminta dengan penuh harap. Alhamdulillah. Namun saya bukanlah penyihir yang cukup mengatakan sim salabim. Jika mau cepat maka mari kita saling memberikan kekuatan. Tulisan ini terutama ditujukan pada pengambil kebijakan yang ada di pemerintahan atau mereka yang “ingin menjadi” pengambil kebijakan.
lanjut...

Kamis, 12 April 2012

Dengkur 2

***
Suatu hari, entah karena apa, Adam ditemukan Ina dalam keadaan pingsan. Ina yang cemas luar biasa langsung membawanya ke rumah sakit. Ini menempatkannya di kelas murah karena memang hanya di sana kemampuannya.
Orang tua Ina yang ditinggal di rumah kerepotan mengurusi sang cucu. Anak itu menangis sepanjang malam. Suara kaleng mereka tak bisa menenangkan karena memang bukan itu penenangnya. Bapaknya di rumah sakit. Dengkurannya tak mungkin sampai di telinga si anak.
Nggrrroookk....
Dengkuran Adam ternyata tak mengenal tempat. Semua pasien di kelas murah mengeluh.
“Suami Anda sudah bisa pulang, Nyonya,” kata perawat yang piket di ruang kelas murah.
“Tapi dia baru semalam di sini, Sus. Saya takut dia kambuh lagi di rumah.”
“Dia cukup sehat. Buktinya, dengkurnya sangat keras,” kata si perawat dengan senyum sinis. “Kalau Anda ingin tetap dirawat inap, sebaiknya dipindah saja ke kelas mahal yang satu ruangan perpasien.”
Ruang kelas mahal? Ina tak tahu berpa biaya di sana tapi pasti mahal. Namanya saja kelas mahal! Tabungan dari hasil kerja serabutan suaminya hanya cukup untuk kelas murah.
Setelah konsultasi dengan dokter, ternyata suaminya hanya kelelahan. “Banyak istirahat saja. Atau memang Anda selalu memancingnya untuk bekerja keras di rumah?” tanya sang dokter dengan senyum genitnya.
Keterangan ini mendorong Ina membawa pulang suaminya. Pasien di kelas murah lega. Orang tua Ina juga lega. Si anak tertidur pulas begitu mendengar dengkur ayahnya telah kembali.
Ternyata Adam tak bisa diam. Dia terus mencari dan mengerjakan pekerjaan serabutan. Isterinya mencegah tapi tak sanggup. Selain itu, siapa yang akan mencari makan untuk keluarga kalau suaminya tidak bekerja?
Adam semakin sibuk. Dengkurnya semakin keras.
Nggrrroookk....
Suatu malam, Adam mendengkur seperti biasa. Ina sudah seperti anaknya. Dengkuran suaminya telah menjadi nada yang membawanya ke alam mimpi. Kemudian Adam tersedak. Ina tak mendengar. Dengkur memang hanya nada membawa ke mimpi, dan di saat bermimpi nada itu tak diperlukan lagi.
Besoknya, Ina menemukan tubuh suaminya sudah kaku. Menurut dokter, saluran pernapasannya tersumbat. Sang suami pergi membawa serta dengkurnya.
***
meninggalnya suami membuat Ina harus mandiri. Orang tuanya tak bisa diharap. Orang tua yang sangat membanggakan keterpelajaran itu telah menghabiskan semua milik mereka agar Ina bisa menjadi terpelajar. Mereka sukses. Tapi tak ada yang mereka tinggalkan untuk Ina kelola. Ina baru sadar mengapa suaminya almarhum sangat memaksakan diri bekerja,
dengan modal peninggalan suaminya, Ina membuka warung makan. Sibuk. Tapi Ina memang mencari kesibukan. Selain untuk mandiri, juga untuk melepaskan sejenak dari keterkenangan pada suami almarhum yang sangat sulit.
Satu keterkenangan yang sulit dia lepaskan adalah dengkur suaminya. Dengkur itu telah menyatu dengan dirinya dan sulit lepas. Lagi pula, anaknya jadi sulit tidur sejak dengkur dibawa serta suaminya ke alam lain. Sekarang baru Ina rasakan betapa pentingnya dengkur suaminya. Dan dia ingin melepaskan diri dengan membuat kesibukan.
Suatu malam, tengah malam. Ina sudah mulai melayang ke awang-awang. Bayang suaminya muncul. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
Ina bangun dalam kaget. Dengkur suaminyakan? Ina mencari-cari tapi bayangan sumaminyapun tak tampak. Anaknya sudah lelap dengan bibir tersenyum seakan mainan yang telah menghilang telah dia dapatkan kembali.
Ina kembali tidur karena capek. Tapi…
Nggrrroookk....
Ina bangkit. Sekarang takut menyelimutinya. Ina baru bisa tenang setelah ibunya menemani. Angannay kembali melayang.
“Bangun.” Ina terkejut. Ternyata ibunya yang membentak sambil mengguncang tubuhnya. “Kamu mendengkur seperti babi betina. Di mana keterpelajaranmu?”
***
(Sudimoro 05 September 2003)
lanjut...

Dengkur 1


Nggrrroookk....
Bunyi itu menggema, setiap sisi kamar memantulknya, lukisan sepasang penganten bergetar. Mungkin lukisan itu akan  menutup telinganya juga seperti Ina andai lukisan itu bisa menggerakan tanganya. Lukisan itu adalah diri Ina sendiri dan suaminya, Adam, yang sekarang tertidur pulas. Terkadang Ina berpikir lebih menyukai sosok suaminya di lukisan itu ketimbang sosok suaminya yang hidup, pada saat tidur. Dan ketika suaminya bangun, lukisan itu tentuh akan dicampakan. Tapi, apakah ada suami-istri yang hanya berkumpul saat mata terbuka dan berpisah saat mata terpejam?
Apa yang dibenci Ina saat keterlelapan suaminya? Dengkuran! Itu jawabanya.
Sebelum menikah, In tak pernah mendengar bunyi dengkuran karena tak seorang pun pendengkur dirumahnya. Bapaknya tidak, juga ibunya, juga dirinya sendiri. Dan keluarganya memang membenci dengkuran, juga pendengkurnya. Menurut orangtuanya, yang kemudian didoktrinkan padanya, mendengkur hanya ada dikalangan masyarakat yang tak berpendidikan. Argumennya memang tak jelas tapi buktinya ada. Oom-tante Ina yang lulus sekolah rendahg dan menjadi petani di desa pendengkur semua. Sedang orang tuanya walau bukan golongan terpelajar (keduanya hanya lulusan Sekolah Sedang) namun berusaha menjadi golongan terpelajar, yaitu dengan tidak mendengkur. Dan dia, sebagai golongan terpelajar (Ina lulusan Sekolah Tinggi) tidak boleh mendengkur. Karena itu, mereka membenci dengkuran dan pendengkurnya.
Ina tak menyesal telah menikah dengan Adam. Dan dia tak boleh menyesal karena ketidakmenyesalan adalah keharusan yang merupakan tanggung jawab.
Nggrrroookk....
Perkawinanannya dengan Adam merupakan pemberontakan terhadap keterkungkungan, merupakan keterlepasan dari belenggu orang tua. Sebelumnya Ina merupakan anak yang baik dan patuh pada orang tua. Setiap keinginan orang tua pasti dia ikuti. Alasan dia patu karena keterpelajaran. Seorang terpelajar tidak bolen menentang kalau argumennya kalah dan dalam banyak perdebatan Ina telah kalah sebelum berargumen. Orang tuanya memang sangat cerdas, argumen mereka sulit dibantah.
Tapi, ketika orang tuanya menyuruhnya menikah dengan laki-laki pilihan mereka, Ina langsung menolak. Adu argumen tak terhindarkan. Argumen utama Ina, dia tak kenal dengan laki-laki pilihan orang tuanya.
“Saya yang menjalani pernikahan. Kalau bapak sama ibu hanya menjadikan penikahan sebagai arena saling kenal, tak masalah. Tapi jangan salahkan saya kalau perkawinan hanya berjalan beberapa saat kemudian kami cerai karena ternyata tidak cocok,” ancamnya.
“Apa kamu sudah mengenal laki-laki pilihanmu?” tanya ibunya juga mencoba mengintimidasi.
“Sudah! Saya sudah sangat mengenalnya! Karena itu, saya berani bertanggungjawab. Kami tak akan berpisah!”
karena jaminan Ina maka orang tuanya merestui pernikahannya. Rupanya orang tuanya berpikir bahwa akan lebih memalukan menyaksikan anaknya kawin0cerai daripada kalau dalam penentuan jodoh untuk anaknya.
Ini jujur pada orang tuanya. Dia memang telah mengenal Adam luar0dalam. Pada awal pernikahan Adam tidak mendengkur, sebelum menikahpun tidak. Bagaimana Ina bisa yakin Adam tidak mendengkur sebelum pernikahan? Apakah teman-teman kost Adam yang memberitahukan? Tentu tidak! Ina yang waktu itu masih mahasiswa sangat tidak mempercayai keterangan dari pihak kedua. Istilahnya tidak valid. Dia sendiri yang membuktikan bahwa Adam tidak mendengkur sebelum menikah. Cara membuktikannya? Tak usah diuraikan karena pembuktian semacam ini tidak asing dizaman sekarang.
Lagi pula, Adam benar-benar sosok terpelajar. Indeks prestasinya saat di Sekolah Tinggi selalu mendekati empat, kemudian wisuda dengan gelar kelulusan cum laude. Sebuah perusahaan besar langsung menawarinya begitu dia lulus. Jadi, mana bisa Adam mendengkur? Tapi kenyataannya begitu. Dan Ina belum bisa menjawab pertanyaan itu.
Lalu, sejak kapan Adam mendengkur? Oh ya, Ina ingat. Hari itu Adam di PHK padahal baru beberapa bulan bekerja. Alasannya, perusahaan sedang tertimpa krisi dan mengurangi pekerja tak terhindarkan. Adam dipiih di PHK karena termasuk kalangan terpelajar yang hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Adam merengek pada bosnya, dia menyatakan akan bekerja apa saja asal tidak di PHK. Tapi bosnya tetap menolak. PHK tetap jatuh padanya. Setelah diselidik, ternyata alasan perusahaan karena Adam belum terlatih bekerja profesional. Ya, bagai mana bisa profesional? Adam baru diwisuda! Selama dibangku kuliah dia hanya dijejali teori yang berada di awang-awang.
Adam memuntahkan semua itu pada Ina, isterinya, di rumah. Dia mencaci keterpelajarannya. Malamnya Adam mulai mendengkur. Ya, mendengkur! Ina ingat betul peristiwa itu. Awalnya hanya bunyi napas tertahan, seperti orang tersedak. Kemudia volumenya meninggi.
Nggrrroookk....
Ina cemas. Adam dibangunkan. Tapi kecemasan Ina disambut kemarahan luar biasa Adam. Ina tak bisa berkomentar. Dia sangat maklum. Adam baru kehilangan pekerjaan, kemudian dibangunkan tiba-tiba hanya karena dengkurnya. Tidak adil! Untunglah Ina telah tahu cara klasik seorang isteri memadamkan amarah suami.
Besoknya Adam mengirimkan lamaran ke sana-kemari. Tak satupun yang lolos. Lak ada lowongan,m itu alasan yang diutarakan perusahaan. Adam semakin marah. Ijazahnya tidak laku. Keterpelajarannya tidak dihargai. Gelar cume laude tak diperhitungkan. Akhirnya dia bekerja serabutan. Apa saja. Yang penting bekerja. Tak sesuai dengan tingkat keterpelajaran sekalipun. Malamnya Adam mendengkur. Dengkurannya semakin keran. Mirip orang tercekik. Dan tak terasa sudah lima bulan dengkuran Adam.
Nggrrroookk....
***
Malam baru menunjukan kekelamannya. Tanda siang baru berakhir. Baru setengah tujuh. Adam sudah tergeletak di tempat tidur. Dia sangat capek. Kegiatannya penuh siang tadi. Mengatar surat ke kantor pos tanpa harapan secuilpun. Kegiatan itu menurutnya hanya sekadar menguji keberuntungan saja. Mirip berjudi. Kemudian dia mendatangi kawan-kawannya. Kebetulan ada beberapa kawan yang punya pekerjaan yang bisa dia bantu dengan imbalan yang kecil tentu. Adam sangat capek karena pikirannya terus berjalan. Pikiran itu mencaci semuanya, terutama keterpelajarannya. Keterpelajaran itu telah memunculkan gengsi pada dirinya sehingga tak mau menerima sembarang kerja. Dan ketika dia terpaksa membuang gengsi itu, yang menyediakan pekerjaan justru menolak. Ijazah zarjana sebagai lambang keterpelajarannya membuat yang menyediakan pekerjaan tak berani memberikan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ijazahnya itu. Ketika—sekali lagi karena terpaksa—ijazah yang telah menyita waktunya tiga setengah tahun itu dia buang, yang menyediakan pekerjaan tak percaya juga karena penampilannya yang terpelajar, lagipun ketika dicoba ternyata dia tak bisa mengerjakan pekerjaan itu.
“Makanan sudah siap,” kata Ina dengan senyum tulus sedikit menggoda.
“Nanti saja,” kata Adam malas. Senyum menggoda isterinyapun tak membangkitkan gairahnya. Dia sangat capek!
Ina kembali ke ruang tamu yang tak jauh dari kamar mereka. Bahkan pintu keluar-masuk kamar itu terhubung langsung dengan ruang tamu. Di sana ada dua orang tamu yang menurut orang tuanya istimewa. Ina harus melayani tamu-tamu istimewa ini.
Di dalam kamar Adam mulai mengkhayal. Menghadirkan kembali angan yang sempat dia ukir saat di Sekolah Tinggi. Kuliah, belajar giat, ikuti apapun kata pengajar agar mendapat nilai yang barus, setelah itu melamar pekerjaan dan menjadi eksekutif yang sukses. Segala realitas buruk yang menerpanya dia singkirkan. Angan itu membuat napas Adam mulai teratur. Tak lama lagi dia kan melihat angannya lewat mimpi.
Dari ruang tamu, orang tua Ina dan tamu penting itu asyik bercakap. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
“Apa ada yang sakit?” tanya si tamu penting yang satu terlihat cemas.
“Aatau Anda memelihara babi di sini?” gurau tamu penting yang satu lagi, yang paling banyak cakap.
Nggrrroookk....
Bunyi itu seolah menjawab kecemasan dan gurauan tamu-tamu penting itu. Karena bunyi dengkuran semakin keras dan ramai, tamu-tamu penting itu akhirnya pamit. Mungkin mereka tak tahan menanggung malu karena suara mereka kalah dengan bunyi dengkur.
Orang tua Ina malu besar.
“Kalian harus pindah ke kamar belakang,” putus bapaknya Ina setelah tamu-tamu penting itu pergi.
Nggrrroookk....
“Apa?” pekik Ina nyaring menyaingi dengkur suaminya. “Bapak menyuruh kami tinggal di kamar pembantu?” rupanya Ina terlalu kaget dan marah sehingga lupa bahwa kamar itu hanya bekas kamar pembantu karena sudah lama tak ada pembantu di rumah itu, sejak perusahan kecil orang tuanya gulung tikar karena kesulitan modal.
Nggrrroookk....
“Dengkurnya telah mempermalukan kami, telah mencoreng muka kami sampai tak jelas bentuknya!”
Nggrrroookk....
Perdebatan terjadi. Kali ini tanpa argumen mendasar sebagaimana ciri orang terpelajar. Hanya debat kusir. Dengkuran Adam menjadi musik pengiring debat kusir itu. Akhirnya Ina kalau setelah orang tuanya menegaskan diri mereka sebagai penguasa rumah.
Besoknya, pertengkaran terjadi antara Adam dan Ina.
“Lebih baik kita pindah saja daripada diperlakukan seperti orang lain begini,” kata Adam marah.
“Pindah? Pindah katamu? Beh!” sembur Ina, “dari mana uang untuk pindah? Untuk mencari makan saja kau tak becus!”
Perdebatan terus terjadi. Debat kusir. Kali ini tanpa diselingi dengkur.
“Sudahlah. Lebih baik kita mengalah. Apa salahanya? Toh kita tidak rugi,” kata ini setelah capek berdebat. Adam juga nampaknya malas mendebat. “Lagipu, enak kalau di kamar belakang. Kita bisa melakukan kapan saja tanpa risih didengar tamu. Semoga dengan begitu kita dapat memberi cucu untuk bapak dan ibu. Mungkin ini akan meredam amarah mereka pada kita.”
Senyum dibibir Adam mengembang. Dia sangat mengeri maksud Ina. “Mari kita buatkan cucu untuk mereka,” kata Ada bersemangat.
***
Anak itu akhirnya lahir juga. Mungil dan lucu. Orang tua Ina senang. Setiap saat mereka menggendongnya, membanggakan kemungilan dan kelucuannya. Menyanyikan lagu dengan suara mirip kaleng untuknya. Anak itu telah melupakan mereka pada dengkuran Adam. Bahkan mereka merasa ditentramkan dengan dengkuran Adam. Betapa tidak. Ketika si anak tak bisa tidur atau bangun tengah malam dan menangis, tak ada yang dapat menangkannya. Lagu nina bobo dari suara merdu ibunya, serta suara kaleng kakek-neneknya, juga tidak. Tapi begitu dengkur sang ayah tib, si bayi langsung pulas seakan dengkuran itu merupakan musik yang merdu baginya.
Nggrrroookk....
Bagi Adam, bertambahnya satu mulut berarti bertambah tanggung jawab. Tanggung jawab, bukan beban. Adam sama sekali tak terbebani . anak itu amanah Tuhan. Dia harus menjaga amanah itu sampai amah itu diambil-Nya atau mungkin yang diberi amanah—yaitu dirinya—yang diambil-Nya, atau mungkin dua-duanya diambil-Nya.
Adam belum juga mendapat pekerjaan tetap yang layak. Keterpelajarannya tidak laku. Bahkan dia menduga orang yang punya perusahaan tidak mempercayai keterpelajarannya karena dia memang tak bisa membuktikan. Ada sadar, gelar cum laude yang disandangnya saat wisuda memang tak bisa dia buktikan di dunia nyata. Pekerjaan serabutan tetap menjadi ladangnya. Dan tentu perlu lebih banyak lagi pekerjaan serabutan yang bergaji sedikit itu. Untunglah dia punya koneksi untuk pekerjaan serabutan itu. Adam semakin sibuk. Dan kesibukan membuat dengkurnya semkain keras.
Nggrrroookk....
Si bayi tertidur pulas begitu mendengarnya.
lanjut...

Pencari Kedamaian 1

1
Muna

Is..kzh…kzh…huraaa…
Muna riang luar biasa. Sepasang sapi penarik garu yang dia naiki bergerak cepat seakan lumpur tak masalah baginya. Dan Karena sapi tak mempermasalahkan lumpur maka Muna berusaha untuk tidak mempermasalahkannya juga. Celana gombrong hitam yang dia pakai telah penuh lumpur. Muna ingat perdebatannya dengan Tolutuy tadi pagi.
“Bawalah baju ganti, Abo’[i]. Beda dengan kemarin. Saat membajak. Hari ini sawah akan diairi. Lumpurnya kental. Pakaianmu akan kotor nanti,” kata Tolutuy.
“Mengapa takut kotor? Kita ke kebun, kan?!” sambut Muna, dia menggeleng heran.
“Aduh, Abo’. Kita kan melewati kampung-kampung. Ketemu banyak orang, juga banyak gadis. Malulah kalau bajunya penuh lumpur!” Tolutuy nyengir penuh arti.
Muna hanya membalas nyengir. Dia sudah bertemu banyak gadis namun belum ada yang menarik perhatiannya. Dia sama sekali tak malu berpakaian penuh lumpur!
“Lagi pula, Abo’ dan Bua’[ii] pasti akan marah besar. Aku juga yang kena,” tambah Tolutuy, sekarang dia menghiba.
Ini lagi. Orang tua!
Sejak awal orang tua Muna tak setuju dia bertani. Bagi orang tuanya yang bangsawan tulen itu—maksudnya kedua orang tua Muna sama-sama bangsawan—bertani hanya pekerjaan ata[iii] dan masyarakat di bawah strata bangsawan. Seorang bangsawan tak boleh merendahkan diri dengan bermandikan lumpur!
“Tidak perlu,” bentak Muna lagi. Dia ingin tahu reaksi orang tuanya ketika dia pulang dengan bermandikan lumpur. Muna sudah bisa membayangkan orang tuanya yang manyun, terutama bapaknya, dan mengomel panjang-pendek ketika melihatnya penuh lumpur. Muna tersenyum sendiri membayangkan hal itu.
Namun Tolutuy tetap membawa baju ganti. Dan setelah melihat sawah yang akan digaru, Muna menganggap sikap Tolutuy bijaksana. Kalau dia memaksa tetap memakai baju yang dia bawah dari rumah, entah bagaimana bentuk baju itu sekarang.
Is..kzh…kzh…huraaa…
Tolutuy! Tolutuy! Muna ingat bagaimana dia sampai bermandi lumpur seperti sekarang. Semua berawal dari Tolutuy.
***
Tolutuy adalah ata. Dia harus melayani segala keperluan Muna. Entah bagaimana Tolutuy menjadi ata, Muna tak tahu. Ata bisa dari keturunan. Orang tuanya ata maka anaknya akan menjadi ata juga. Namun, setahu Muna, Tolutuy tidak mempunyai orang tua. Bisa juga karena melakukan kesalahan. Namun, kesalahan apa yang telah dilakukan Tolutuy sehingga dia menjadi manusia rendah semacam itu? Muna tak tahu pasti. Yang dia tahu, sejak dia bisa mengenali sekeliling, Tolutuy telah menjadi pelayannya. Bisa jadi…
Ah, sudahlah, desah Muna dalam hati. Toh Tolutuy tak pernah diperlakukan seperti ata. Orang tua Muna, Abo’ Landang dan Bua’ Longkagi, menyayangi Tolutuy karena Tolutuy bersikap seperti namanya—Tolutuy sangat penurut. Bagi Muna, karena seumuran, Tolutuy adalah teman berbagi. Sayang tradisi yang mengekang tak memperbolehkan dia memperlakukan Tolutuy layaknya saudara.
Keberadaan Tolutuy sebagai ata membuat Muna sangat membenci strata[iv] walau dirinya termasuk di strata atas dengan beberapa hak istimewa. Menurut Muna, pembedaan manusia seperti ini sangat tidak adil. Apalagi setelah dia belajar mengaji. Aba’ Mansur, guru mengajinya, selalu bilang bahwa pembedaan manusia berdasarkan keturunan merupakan sistem di masa jahiliyah dan Islam datang untuk menghapuskan sistem jahiliyah itu.
“Menurut Islam, manusia tidak dibedakan dari warna kulit, kekayaan, dan nasab atau keturunan. Yang membedakan manusia hanya amal kebaikan yang dia lakukan. Ini yang akan diperhitungkan di Padang Mashar nanti,” kata Aba’.
Muna tak tahu apa ada Padang Mashar karena dia belum pernah mengunjungi akherat. Namun dia sependapat dengan Aba’ Mansur. Sistem di dunia ini seharusnya mendorong manusia untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Bukannya membedakan dan menindas.
Dari membenci sistem, Muna beralih membenci orang, maksudnya bangsawan pongah yang menindas manusia yang berada di bawah kelas mereka. Muna sering “memberi pelajaran” pada putra bangsawan yang berbuat semena-mena. Saat masih belajar mengaji dan pencak di masjid, Muna menghajar mereka di arena. Setelah dewasa, dia tetap memburu mereka. Entah sudah berapa banyak putra bangsawan yang menjadi korbannya.
Suatu hari, Muna dan Tolutuy berjalan-jalan di bandar Kotabangon. Sejak ibu kota kerajaan dipindahkan dari pesisir Bolaang ke pedalaman Kotabangon, Kotabangon telah menjadi bandar yang ramai. Pasar dibangun, masjid dan lapangan serta istana raja yang disebut komalig dan kantor pemerintahan. Macam-macam rupa orang. Yang bermata sipit, bermata besar dan hidung mancung, bahkan yang berkulit putih dan berambut jagung. Para bangsawan senang berjalan-jalan melihat kesibukan bandar.
Muna menunggangi kuda putihnya yang kecil namun kuat dan sigap. Di bawahnya, berjalan kaki, Tolutuy melangkah mantap. Bandar sangat ramai hari itu. Macam-macam barang dagangan. Banyak perempuan, para putri bangsawan beserta ata mereka, mengamat-amati barang dagangan. Namun pandangan mereka beralih begitu melihat Muna. Beberapa melirik genit ke arah Muna.
Muna memang menarik bagi para gadis. Perawakannya yang kokoh karena terlatih kanuragan, wajahnya yang tampan memancarkan ketegasan dan wibawa. Tak ada yang tahu dia sudah berusia dua tujuh sekarang. Termasuk tak ada yang tahu bagaimana cara menarik perhatiannya. Para gadis itu hanya bisa berharap, sementara sang pemuda berlalu begitu saja seakan tak ada yang memperhatikan. Walau Muna tak merasa terganggu dengan pandangan para gadis itu namun dia sama sekali tak membalas perhatian mereka. Muna memang kurang suka pada gadis bangsawan. Menurutnya para Bua’ muda itu terlalu angkuh.
Kalau tak menginginkan putri bangsawan, lalu gadis seperti apa yang dia suka? Muna senang pada gadis yang tak mengandalkan leluhur. Seorang gadis yang mandiri. Yang dia bingungkan, di mana dia mendapatkan gadis semacam itu. Di lingkungan pergaulannya hanya ada para Bua’ muda yang manja.
Sedang asyik mengamati sekeliling, tiba-tiba…
“Hei, kau, angkat ini.”


[i] Abo’ : Gelar untuk bangsawan pria
[ii] Bua’ : Gelar untuk bangsawan perempuan
[iii] Ata: Budak
[iv] Strata: Pembedaan manusia berdasarkan kelas-kelas.
lanjut...