Nggrrroookk....
Bunyi itu menggema, setiap
sisi kamar memantulknya, lukisan sepasang penganten bergetar. Mungkin lukisan
itu akan menutup telinganya juga seperti
Ina andai lukisan itu bisa menggerakan tanganya. Lukisan itu adalah diri Ina
sendiri dan suaminya, Adam, yang sekarang tertidur pulas. Terkadang Ina
berpikir lebih menyukai sosok suaminya di lukisan itu ketimbang sosok suaminya
yang hidup, pada saat tidur. Dan ketika suaminya bangun, lukisan itu tentuh
akan dicampakan. Tapi, apakah ada suami-istri yang hanya berkumpul saat mata
terbuka dan berpisah saat mata terpejam?
Apa yang dibenci Ina saat
keterlelapan suaminya? Dengkuran! Itu jawabanya.
Sebelum menikah, In tak
pernah mendengar bunyi dengkuran karena tak seorang pun pendengkur dirumahnya.
Bapaknya tidak, juga ibunya, juga dirinya sendiri. Dan keluarganya memang
membenci dengkuran, juga pendengkurnya. Menurut orangtuanya, yang kemudian
didoktrinkan padanya, mendengkur hanya ada dikalangan masyarakat yang tak berpendidikan.
Argumennya memang tak jelas tapi buktinya ada. Oom-tante Ina yang lulus sekolah
rendahg dan menjadi petani di desa pendengkur semua. Sedang orang tuanya walau
bukan golongan terpelajar (keduanya hanya lulusan Sekolah Sedang) namun
berusaha menjadi golongan terpelajar, yaitu dengan tidak mendengkur. Dan dia,
sebagai golongan terpelajar (Ina lulusan Sekolah Tinggi) tidak boleh
mendengkur. Karena itu, mereka membenci dengkuran dan pendengkurnya.
Ina tak menyesal telah
menikah dengan Adam. Dan dia tak boleh menyesal karena ketidakmenyesalan adalah
keharusan yang merupakan tanggung jawab.
Nggrrroookk....
Perkawinanannya dengan Adam
merupakan pemberontakan terhadap keterkungkungan, merupakan keterlepasan dari
belenggu orang tua. Sebelumnya Ina merupakan anak yang baik dan patuh pada
orang tua. Setiap keinginan orang tua pasti dia ikuti. Alasan dia patu karena
keterpelajaran. Seorang terpelajar tidak bolen menentang kalau argumennya kalah
dan dalam banyak perdebatan Ina telah kalah sebelum berargumen. Orang tuanya
memang sangat cerdas, argumen mereka sulit dibantah.
Tapi, ketika orang tuanya
menyuruhnya menikah dengan laki-laki pilihan mereka, Ina langsung menolak. Adu
argumen tak terhindarkan. Argumen utama Ina, dia tak kenal dengan laki-laki
pilihan orang tuanya.
“Saya yang menjalani
pernikahan. Kalau bapak sama ibu hanya menjadikan penikahan sebagai arena
saling kenal, tak masalah. Tapi jangan salahkan saya kalau perkawinan hanya
berjalan beberapa saat kemudian kami cerai karena ternyata tidak cocok,” ancamnya.
“Apa kamu sudah mengenal
laki-laki pilihanmu?” tanya ibunya juga mencoba mengintimidasi.
“Sudah! Saya sudah sangat
mengenalnya! Karena itu, saya berani bertanggungjawab. Kami tak akan berpisah!”
karena jaminan Ina maka
orang tuanya merestui pernikahannya. Rupanya orang tuanya berpikir bahwa akan
lebih memalukan menyaksikan anaknya kawin0cerai daripada kalau dalam penentuan
jodoh untuk anaknya.
Ini jujur pada orang tuanya.
Dia memang telah mengenal Adam luar0dalam. Pada awal pernikahan Adam tidak mendengkur,
sebelum menikahpun tidak. Bagaimana Ina bisa yakin Adam tidak mendengkur
sebelum pernikahan? Apakah teman-teman kost Adam yang memberitahukan? Tentu
tidak! Ina yang waktu itu masih mahasiswa sangat tidak mempercayai keterangan
dari pihak kedua. Istilahnya tidak valid. Dia sendiri yang membuktikan bahwa
Adam tidak mendengkur sebelum menikah. Cara membuktikannya? Tak usah diuraikan
karena pembuktian semacam ini tidak asing dizaman sekarang.
Lagi pula, Adam benar-benar
sosok terpelajar. Indeks prestasinya saat di Sekolah Tinggi selalu mendekati
empat, kemudian wisuda dengan gelar kelulusan cum laude. Sebuah perusahaan besar langsung menawarinya begitu dia
lulus. Jadi, mana bisa Adam mendengkur? Tapi kenyataannya begitu. Dan Ina belum
bisa menjawab pertanyaan itu.
Lalu, sejak kapan Adam
mendengkur? Oh ya, Ina ingat. Hari itu Adam di PHK padahal baru beberapa bulan
bekerja. Alasannya, perusahaan sedang tertimpa krisi dan mengurangi pekerja tak
terhindarkan. Adam dipiih di PHK karena termasuk kalangan terpelajar yang hanya
dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Adam merengek pada bosnya, dia menyatakan akan
bekerja apa saja asal tidak di PHK. Tapi bosnya tetap menolak. PHK tetap jatuh
padanya. Setelah diselidik, ternyata alasan perusahaan karena Adam belum terlatih
bekerja profesional. Ya, bagai mana bisa profesional? Adam baru diwisuda!
Selama dibangku kuliah dia hanya dijejali teori yang berada di awang-awang.
Adam memuntahkan semua itu
pada Ina, isterinya, di rumah. Dia mencaci keterpelajarannya. Malamnya Adam
mulai mendengkur. Ya, mendengkur! Ina ingat betul peristiwa itu. Awalnya hanya
bunyi napas tertahan, seperti orang tersedak. Kemudia volumenya meninggi.
Nggrrroookk....
Ina cemas. Adam dibangunkan.
Tapi kecemasan Ina disambut kemarahan luar biasa Adam. Ina tak bisa
berkomentar. Dia sangat maklum. Adam baru kehilangan pekerjaan, kemudian
dibangunkan tiba-tiba hanya karena dengkurnya. Tidak adil! Untunglah Ina telah
tahu cara klasik seorang isteri memadamkan amarah suami.
Besoknya Adam mengirimkan
lamaran ke sana-kemari. Tak satupun yang lolos. Lak ada lowongan,m itu alasan
yang diutarakan perusahaan. Adam semakin marah. Ijazahnya tidak laku.
Keterpelajarannya tidak dihargai. Gelar cume
laude tak diperhitungkan. Akhirnya dia bekerja serabutan. Apa saja. Yang
penting bekerja. Tak sesuai dengan tingkat keterpelajaran sekalipun. Malamnya
Adam mendengkur. Dengkurannya semakin keran. Mirip orang tercekik. Dan tak
terasa sudah lima bulan dengkuran Adam.
Nggrrroookk....
***
Malam baru menunjukan
kekelamannya. Tanda siang baru berakhir. Baru setengah tujuh. Adam sudah
tergeletak di tempat tidur. Dia sangat capek. Kegiatannya penuh siang tadi.
Mengatar surat ke kantor pos tanpa harapan secuilpun. Kegiatan itu menurutnya
hanya sekadar menguji keberuntungan saja. Mirip berjudi. Kemudian dia
mendatangi kawan-kawannya. Kebetulan ada beberapa kawan yang punya pekerjaan
yang bisa dia bantu dengan imbalan yang kecil tentu. Adam sangat capek karena
pikirannya terus berjalan. Pikiran itu mencaci semuanya, terutama keterpelajarannya.
Keterpelajaran itu telah memunculkan gengsi pada dirinya sehingga tak mau
menerima sembarang kerja. Dan ketika dia terpaksa membuang gengsi itu, yang
menyediakan pekerjaan justru menolak. Ijazah zarjana sebagai lambang
keterpelajarannya membuat yang menyediakan pekerjaan tak berani memberikan
pekerjaan yang tidak sesuai dengan ijazahnya itu. Ketika—sekali lagi karena
terpaksa—ijazah yang telah menyita waktunya tiga setengah tahun itu dia buang,
yang menyediakan pekerjaan tak percaya juga karena penampilannya yang
terpelajar, lagipun ketika dicoba ternyata dia tak bisa mengerjakan pekerjaan
itu.
“Makanan sudah siap,” kata
Ina dengan senyum tulus sedikit menggoda.
“Nanti saja,” kata Adam
malas. Senyum menggoda isterinyapun tak membangkitkan gairahnya. Dia sangat
capek!
Ina kembali ke ruang tamu
yang tak jauh dari kamar mereka. Bahkan pintu keluar-masuk kamar itu terhubung
langsung dengan ruang tamu. Di sana ada dua orang tamu yang menurut orang
tuanya istimewa. Ina harus melayani tamu-tamu istimewa ini.
Di dalam kamar Adam mulai
mengkhayal. Menghadirkan kembali angan yang sempat dia ukir saat di Sekolah
Tinggi. Kuliah, belajar giat, ikuti apapun kata pengajar agar mendapat nilai
yang barus, setelah itu melamar pekerjaan dan menjadi eksekutif yang sukses. Segala
realitas buruk yang menerpanya dia singkirkan. Angan itu membuat napas Adam
mulai teratur. Tak lama lagi dia kan melihat angannya lewat mimpi.
Dari ruang tamu, orang tua
Ina dan tamu penting itu asyik bercakap. Tiba-tiba…
Nggrrroookk....
“Apa ada yang sakit?” tanya
si tamu penting yang satu terlihat cemas.
“Aatau Anda memelihara babi
di sini?” gurau tamu penting yang satu lagi, yang paling banyak cakap.
Nggrrroookk....
Bunyi itu seolah menjawab
kecemasan dan gurauan tamu-tamu penting itu. Karena bunyi dengkuran semakin
keras dan ramai, tamu-tamu penting itu akhirnya pamit. Mungkin mereka tak tahan
menanggung malu karena suara mereka kalah dengan bunyi dengkur.
Orang tua Ina malu besar.
“Kalian harus pindah ke
kamar belakang,” putus bapaknya Ina setelah tamu-tamu penting itu pergi.
Nggrrroookk....
“Apa?” pekik Ina nyaring
menyaingi dengkur suaminya. “Bapak menyuruh kami tinggal di kamar pembantu?”
rupanya Ina terlalu kaget dan marah sehingga lupa bahwa kamar itu hanya bekas
kamar pembantu karena sudah lama tak ada pembantu di rumah itu, sejak perusahan
kecil orang tuanya gulung tikar karena kesulitan modal.
Nggrrroookk....
“Dengkurnya telah
mempermalukan kami, telah mencoreng muka kami sampai tak jelas bentuknya!”
Nggrrroookk....
Perdebatan terjadi. Kali ini
tanpa argumen mendasar sebagaimana ciri orang terpelajar. Hanya debat kusir.
Dengkuran Adam menjadi musik pengiring debat kusir itu. Akhirnya Ina kalau
setelah orang tuanya menegaskan diri mereka sebagai penguasa rumah.
Besoknya, pertengkaran terjadi
antara Adam dan Ina.
“Lebih baik kita pindah saja
daripada diperlakukan seperti orang lain begini,” kata Adam marah.
“Pindah? Pindah katamu?
Beh!” sembur Ina, “dari mana uang untuk pindah? Untuk mencari makan saja kau
tak becus!”
Perdebatan terus terjadi.
Debat kusir. Kali ini tanpa diselingi dengkur.
“Sudahlah. Lebih baik kita
mengalah. Apa salahanya? Toh kita tidak rugi,” kata ini setelah capek berdebat.
Adam juga nampaknya malas mendebat. “Lagipu, enak kalau di kamar belakang. Kita
bisa melakukan kapan saja tanpa risih didengar tamu. Semoga dengan begitu kita
dapat memberi cucu untuk bapak dan ibu. Mungkin ini akan meredam amarah mereka
pada kita.”
Senyum dibibir Adam
mengembang. Dia sangat mengeri maksud Ina. “Mari kita buatkan cucu untuk
mereka,” kata Ada bersemangat.
***
Anak itu akhirnya lahir
juga. Mungil dan lucu. Orang tua Ina senang. Setiap saat mereka menggendongnya,
membanggakan kemungilan dan kelucuannya. Menyanyikan lagu dengan suara mirip
kaleng untuknya. Anak itu telah melupakan mereka pada dengkuran Adam. Bahkan
mereka merasa ditentramkan dengan dengkuran Adam. Betapa tidak. Ketika si anak
tak bisa tidur atau bangun tengah malam dan menangis, tak ada yang dapat
menangkannya. Lagu nina bobo dari suara merdu ibunya, serta suara kaleng kakek-neneknya,
juga tidak. Tapi begitu dengkur sang ayah tib, si bayi langsung pulas seakan
dengkuran itu merupakan musik yang merdu baginya.
Nggrrroookk....
Bagi Adam, bertambahnya satu
mulut berarti bertambah tanggung jawab. Tanggung jawab, bukan beban. Adam sama
sekali tak terbebani . anak itu amanah Tuhan. Dia harus menjaga amanah itu
sampai amah itu diambil-Nya atau mungkin yang diberi amanah—yaitu dirinya—yang
diambil-Nya, atau mungkin dua-duanya diambil-Nya.
Adam belum juga mendapat
pekerjaan tetap yang layak. Keterpelajarannya tidak laku. Bahkan dia menduga
orang yang punya perusahaan tidak mempercayai keterpelajarannya karena dia
memang tak bisa membuktikan. Ada sadar, gelar cum laude yang disandangnya saat wisuda memang tak bisa dia
buktikan di dunia nyata. Pekerjaan serabutan tetap menjadi ladangnya. Dan tentu
perlu lebih banyak lagi pekerjaan serabutan yang bergaji sedikit itu. Untunglah
dia punya koneksi untuk pekerjaan serabutan itu. Adam semakin sibuk. Dan
kesibukan membuat dengkurnya semkain keras.
Nggrrroookk....
Si bayi tertidur pulas
begitu mendengarnya.